Seperti kita ketahui, masyarakat memerlukan informasi dan juga
hiburan dengan berbagai cara. Dan kebutuhan tersebut difasilitasi oleh media
yang juga ingin menguatkan kedudukan ekonominya dalam sistem ekonomi masyarakat.
Hubungan yang terjadi antara produsen dan konsumen ini menjadi hubungan timbal
balik yang berkesinambungan, ketika media massa seperti televisi, surat kabar,
dan bahkan internet tunduk pada kepentingan modal, maka kepentingan masyarakat
bisa menjadi ambivalen.
Kekuatan
publikasi media massa ini seringkali menarik para politisi untuk tampil di
dalamnya. Tidak menutup kemungkinan, para pemilik media massa yang lainnya juga
memiliki kepentingan politik dan ekonomi yang sama; terkait dengan pucuk kepemimpinan
nasional; karena mereka sangat menentukan berbagai kebijakan pembangunan
poleksosbudhankamnas yang akan digulirkan di masa depan.
Bila melihat
kenetralan media, apakah dengan hal tersebut dapat dikatakan akan mengurangi
idealisme media massa dan berpengaruh negatif pada masa depan politik di
Indonesia? Bagaimana secara kritis ekonomi politik media memandangnya?
Ekonomi Politik Media
Ekonomi politik media
adalah media sebagai institusi politik dan institusi ekonomi yang mempunyai
kekuatan untuk mempengaruhi khayalak. Vincent Moscow (1998) mengatakan bahwa ekonomi
politik dipandang sebagai studi mengenai hubungan sosial, khususnya hubungan
kekuatan, yang biasanya berbentuk produksi, distribusi, dan konsumsi dari
sumber. Hubungan ini timbul dalam hubungan timbal balik antara sumber daya alam
proses produksi komunikasi seperti surat kabar, buku, video, film, dan khalayak
adalah yang utama.
Adapun kegunaan ekonomi politik dalam
komunikasi adalah untuk menggambarkan dan menjelaskan signifikansi dari bentuk
produksi, distribusi, dan pertukaran komoditas komunikasi serta peraturan yang
mengatur struktur media tersebut, khususnya oleh negara. Gaya produksi media
dan hubungan ekonomi kemudian menjadi dasar atau elemen penentu dalam pikiran
kita.
Murdock dan Golding (McQuail: 1987) menyebutkan
efek kekuatan ekonomi tidak secara langsung acak, tetapi terus-menerus. Pertimbangan
untung rugi diwujudkan secara sistematis dengan memantapkan kedudukan
kelompok-kelompok yang sudah mapan dalam pasar media massa besar dan mematikan
kelompok-kelompok yang tidak memiliki modal dasar yang diperlukan untuk mampuu
bergerak. Oleh karena itu, pendapat yang dapat diterima berasal dari kelompok
yang cenderung tidak melancarkan kritik terhadap distribusi kekayaan dan
kekuasaan yang berlangsung. Sebaliknya, mereka yang cenderung menantang kondisi
semacam itu tidak dapat mempublikasikan ketidakpuasan atau ketidaksetujuan
mereka karena mereka tidak mampu menguasai sumber daya yang diperukan untuk
menciptakan komunikasi efektif terhadap khalayak luas.
Ada tiga konsep untuk aplikasi pendekatan
ekonomi politik dalam industri komunikasi yang ditawarkan Moscow, yaitu:
- Commodification (komodifikasi). Konsep ini mengacu pada pemanfaatan barang dan jasa yang dilihat dari kegunaannya kemudian ditransformasikan menjadi komoditi yang bernilai jual pasar. Bentuk komodifikasi dalam komunikasi ada tiga macam: intrinsinc commodification (komodifikasi intrinsik), extrinsinc commodification (komodifikasi ekstrinsik), dan cybernatic commodification (komodifikasi sibernatik).
- Spatialization (spasialisasi) adalah proses untuk mengatasi hambatan ruang dan waktu dalm kehidupan sosial oleh perusahaan media dalam bentuk perluasan usaha seperti proses intregasi. Ada integrasi horizontal, vertikal, dan internasionalisasi.
- Structuration (strukturasi), yakni proses penggabungan human agency (agensi manusia) dengan proses perubahan sosial ke dalam analisis struktur. Karakteristik penting dari teori strukturisasi ialah kekuatan yang diberikan pada perubahan sosial, yang menggambarkan bagaimana struktur diproduksi dan direproduksi oleh agen manusia yang bertindak melalui medium struktur-struktur.
Pendekatan
politik ekonomi media berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh
kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media. Faktor seperti
pemilik media, modal, dan pendapatan media dianggap lebih menentukan bagaimana
wujud isi media. Faktor-faktor inilah yang menentukan peristiwa apa saja yang
bisa atau tidak bisa ditampilkan dalam pemberitaan, serta ke arah mana
kecenderungan pemberitaan sebuah media hendak diarahkan (Sudibyo, 2001:2).
Dalam
pendekatan politik ekonomi media, kepemilikan media (media ownership) mempunyai arti penting untuk melihat peran,
ideologi, konten media dan efek yang ditimbulkan media kepada masyarakat.
Dennis McQuail
(1987), terdapat lima jenis utama dari terori media kritis yang salah satunya
adalah teori ekonomi-politik media (political economy media theory).
Dalam ekonomi politik komunikasi, sumber daya ini dapat berupa surat kabar,
majalah, buku, kaset, film, internet dan sebagainya.
Teori ekonomi
media merupakan sebuah pendekatan yang memusatkan perhatian lebih banyak pada
struktur ekonomi daripada muatan atau ideologi media. Teori ini fokus ideologi
medianya pada kekuatan ekonomi dan mengarahkan perhatian penelitian pada
analisis empiris terhadap struktur pemilikan dan mekanisme kerja kekuatan pasar
media. Menurut tinjauan ini, institusi media harus dinilai sebagai bagian dari
sistem ekonomi yang juga bertalian erat dengan sistem politik.
Dalam teori
Marxisme Klasik, bahwa kepemilikan media pada segelintir elit penguasa telah
menyebabkan patologi atau penyakit sosial. Dalam pemikiran ini, kandungan media
adalah komoditas yang dijual di pasar dan iformasi yang disebarluaskan
dikendalikan oleh apa yang pasar akan tanggung. Sistem ini membawa implikasi
mekanisme pasar yang tidak ambil resiko, suatu bentuk mekanisme pasar yang
kejam karena membuat media tertentu mendominasi wacana publik dan lainnya
terpinggirkan.
Pengusaha Media Menjadi Politisi
Di zaman Orde
Reformasi, media massa menjadi sangat liberal (bebas), bahkan berubah menjadi
kekuatan yang ampuh dalam mengontrol pusat-pusat kekuasaan. Dan kecenderungan
yang terjadi selama ini, malahan para praktisi media massa termasuk para
konglomerat media massa di Tanah Air berambisi besar menjadi penguasa politik.
Entah dengan bergabung atau mendirikan organisasi politik atau dengan
mendeklarasikan keikutsertaannya dalam pesta demokrasi 5 tahunan bernama Pemilu
Legislatif, Pemilu Presiden dan Pemilu Kepala Daerah.
Sangat wajarlah
para konglomerat media massa berlomba-lomba dalam memberikan dukungan politik
maupun finansial kepada para kandidat pemimpin, entah mereka yang memperebutkan
jabatan eksekutif maupun legislatif. Dengan harapan adanya pergantian atau
pemertahanan pucuk-pucuk pimpinan di berbagai institusi pemerintahan, secara
tidak langsung memberikan keuntungan bisnis pada keberlangsungan eksistensi
media massa yang dimiliki. Kompetisi bisnis antara para konglomerat media
massa, akhirnya tidak murni bersinggungan dengan masalah perebutan pangsa pasar
yang terbuka bebas (likuid). Melainkan sudah memasuki wilayah pengaruh politik,
di mana masing-masing konglomerat media merasa memiliki kepentingan politik
untuk melipatgandakan keuntungan bisnis perusahaan media, sekaligus kalau bisa
menancapkan pengaruhnya pada pusat-pusat kekuasaan. Sebab pusat-pusat kekuasaan
itu sangat efektif dalam memengaruhi pasar atau masyarakat.
Dari analisis
politik, Pemilu dan Pilkada merupakan agenda 5 tahunan yang menjadi ajang
pertarungan politik paling nyata antara para politisi, pemilik modal
(pebisnis), akademisi, peneliti dan massa. Para pemilik media massa sah-sah
saja memiliki kepentingan besar dalam berbagai momentum politik berupa pesta
demokrasi. Sebab hajatan politik berupa Pemilu dan Pilkada, akan mengubah
tatanan politik dalam skala nasional dan lokal. Implikasinya sangat luas,
pergantian kepemimpinan nasional maupun lokal berpengaruh besar pada berbagai
kebijakan politik, ekonomi, sosial, budaya bahkan hingga pertahanan dan
keamanan.
Namun, terjunnya
para konglomerat media massa dalam dunia politik, sudah menjadi bias dalam
pemberitaan. Karena dengan keterlibatan para pengusaha media massa, misalkan
Surya Paloh yang memiliki Media Group (Metro TV, Media Indonesia, Lampung Post
dll.) melalui Partai Nasional Demokratnya, serta Abu Rizal Bakrie yang memiliki
Viva Group jelas berpengaruh besar pada kemurnian media massa dalam
mencerdaskan publik.
Sebagai
gambaran pada masa kampenya Pemilu 2014 sampai sekarang, ada dua media berita
televisi yang berbeda sudut pandang sesuai haluan politiknya, yaitu Metro TV
dan TV One. Dua stasiun TV ini meskipun menyajikan kasus yang sama, tetapi akan
melihat pada dua sudut pandang yang berbeda.
Media Group
akan memiliki “sikap ganda” dalam memberitakan berbagai hal yang berkaitan
dengan Surya Paloh dan Partai Nasional Demokrat serta berita-berita yang
dinilai sebagai kontrapolitiknya serta ambiguitas dalam menentukan sikap ketika
mengkritisi pemerintah. Begitu pun dengan Viva Grup, berita-berita yang
dipaparkannya bisa berbeda kontrapolitik dalam pemberitaan Aburizal Bakrie.
Berbagai
kebijakan redaksional yang digulirkan oleh perusahaan-perusahaan media massa
sangat terdekte oleh berbagai kepentingan ekonomi (bisnis) dan kepentingan
politik (kekuasaan) dan menihilkan pengaruh idealisme dalam mendirikan media
massa. Hal ini menyebabkan adanya fenomena persekongkolan (konspirasi) antara
para politikus dan pengusaha media massa. Sebab para politikus memiliki
kepentingan untuk mempublikasikan berbagai pemikiran dan gagasannya agar
diketahui publik, sedangkan media massa membutuhkan sumber-sumber berita yang
mampu menarik minat dari kalangan pembaca, pendengar dan pemirsa.
Dengan
terjunnya para pengusaha media massa (konglomerat media), teori politik ekonomi
media massa tersebut seolah lebur dalam satu pihak. Kini, para pengusaha media
massa itu sekaligus yang menjadi politisinya. Artinya, mereka akan menggunakan
perusahaan media massa yang dimiliki sebagai alat propaganda. Yakni menyosialisasikan
berbagai manuver-manuver politik maupun non politik yang dimiliki oleh
pengusaha media massa yang telah berprofesi ganda menjadi politisi tersebut,
untuk merealisasikan keinginan atau cita-cita (ambisi) politik para pemilik
media massa atas kekuasaan legislatif dan eksekutif.
Dalam
perjalanan selanjutnya, politik hegemoni dan hegemoni politik akan mendera
kehidupan bangsa. Ketika negeri ini dikuasai oleh para politikus yang notabene-nya
para pemilik atau konglomerat media massa. Probabilitas lainnya, terjadi
perseteruan atau pertarungan nyata antara berbagai perusahaan media massa di
Indonesia yang dikuasai oleh para politisi, sebagai akibat dari politik
hegemoni. Seorang politisi ingin menebarkan pengaruh kuat kepada seluruh
penduduk, agar mudah memenangkan berbagai kompetisi politik melalui Pemilu dan
atau Pilkada. Dalam bahasa bisnis perniagaan, politik hegemoni sama artinya
dengan politik monopoli, yang mana hanya ada satu pemain tunggal saja yang menguasai
seluruh sendi kehidupan.
Tidak
terelakkan lagi, media massa menjadi institusi bisnis (berfungsi untuk mengeruk
keuntungan), institusi politik (bermaksud untuk menyebarkan berbagai ideologi
dan pengaruh) sekaligus menjalankan fungsi keberpihakan pada publik (pembebasan
publik atas ketertutupan informasi dan berusaha mencerdaskannya). Tiga fungsi
yang dimainkan media massa tersebut, berimplikasi besar pada politisasi media
massa di Tanah Air. Kendati pun hal tersebut tidak bisa terbaca secara terang-terangan
(vulgar), tetapi lebih bersifat tersamarkan.
Para politisi
dan pejabat negara memiliki kepentingan dengan media massa, dan memanfaatkan
keberadaannya untuk kepentingan mereka. Teori ekonomi politik media massa yang
dimiliki oleh Vincent Mosco, bisa menjelaskan mengenai relasi antara
kepentingan bisnis dan kepentingan politik para pemilik media massa, praktisi
media massa dan penguasa negara.
Maka, semakin
maraknya para pemilik media massa (konglomerat media) yang terjun menjadi
politisi, entah dengan mendirikan partai politik baru maupun bergabung dengan
partai politik lama merupakan strategi ekonomi-politik yang kini menjadi tren
dalam industri media. Para pemilik media massa itu memiliki kepentingan untuk
mengincar berbagai posisi dalam kursi kekuasaan eksekutif, misalkan dengan
menjadi presiden, wakil presiden maupun menteri.
Referensi:
- (Vincent Moscow. 1998. The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal. University of Winconsin Press).
- (Dennis McQuail. 1987. Teori Komunikasi Massa, terj Agus Dharma dan Aminuddin Ram. Jakarta: Erlangga).
0 Comments:
Posting Komentar