Selasa, 12 April 2016

Ekonomi Politik Media; Ketika Pengusaha Media Menjadi Politisi

Pemilu 2014 merupakan pertarungan besar-besaran antara para politisi yang merangkap sebagai pengusaha media massa, seperti Aburizal Bakrie, Harry Tanoesoedibjo, Surya Paloh, Dahlan Iskan. Bahkan, Chairul Tanjung. Padahal, media massa sering disebut pilar keempat dalam demokrasi, namun sayang hal tersebut nampak seperti paradox, karena media massa bisa menjadi alat propaganda sekaligus menjadi alat penggerak sosial (massa) yang sangat efektif untuk melakukan berbagai perubahan sosial.
Seperti kita ketahui, masyarakat memerlukan informasi dan juga hiburan dengan berbagai cara. Dan kebutuhan tersebut difasilitasi oleh media yang juga ingin menguatkan kedudukan ekonominya dalam sistem ekonomi masyarakat. Hubungan yang terjadi antara produsen dan konsumen ini menjadi hubungan timbal balik yang berkesinambungan, ketika media massa seperti televisi, surat kabar, dan bahkan internet tunduk pada kepentingan modal, maka kepentingan masyarakat bisa menjadi ambivalen.
Kekuatan publikasi media massa ini seringkali menarik para politisi untuk tampil di dalamnya. Tidak menutup kemungkinan, para pemilik media massa yang lainnya juga memiliki kepentingan politik dan ekonomi yang sama; terkait dengan pucuk kepemimpinan nasional; karena mereka sangat menentukan berbagai kebijakan pembangunan poleksosbudhankamnas yang akan digulirkan di masa depan.
Bila melihat kenetralan media, apakah dengan hal tersebut dapat dikatakan akan mengurangi idealisme media massa dan berpengaruh negatif pada masa depan politik di Indonesia? Bagaimana secara kritis ekonomi politik media memandangnya?
Ekonomi Politik Media
Ekonomi politik media adalah media sebagai institusi politik dan institusi ekonomi yang mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi khayalak. Vincent Moscow (1998) mengatakan bahwa ekonomi politik dipandang sebagai studi mengenai hubungan sosial, khususnya hubungan kekuatan, yang biasanya berbentuk produksi, distribusi, dan konsumsi dari sumber. Hubungan ini timbul dalam hubungan timbal balik antara sumber daya alam proses produksi komunikasi seperti surat kabar, buku, video, film, dan khalayak adalah yang utama.
Adapun kegunaan ekonomi politik dalam komunikasi adalah untuk menggambarkan dan menjelaskan signifikansi dari bentuk produksi, distribusi, dan pertukaran komoditas komunikasi serta peraturan yang mengatur struktur media tersebut, khususnya oleh negara. Gaya produksi media dan hubungan ekonomi kemudian menjadi dasar atau elemen penentu dalam pikiran kita.
Murdock dan Golding (McQuail: 1987) menyebutkan efek kekuatan ekonomi tidak secara langsung acak, tetapi terus-menerus. Pertimbangan untung rugi diwujudkan secara sistematis dengan memantapkan kedudukan kelompok-kelompok yang sudah mapan dalam pasar media massa besar dan mematikan kelompok-kelompok yang tidak memiliki modal dasar yang diperlukan untuk mampuu bergerak. Oleh karena itu, pendapat yang dapat diterima berasal dari kelompok yang cenderung tidak melancarkan kritik terhadap distribusi kekayaan dan kekuasaan yang berlangsung. Sebaliknya, mereka yang cenderung menantang kondisi semacam itu tidak dapat mempublikasikan ketidakpuasan atau ketidaksetujuan mereka karena mereka tidak mampu menguasai sumber daya yang diperukan untuk menciptakan komunikasi efektif terhadap khalayak luas.
Ada tiga konsep untuk aplikasi pendekatan ekonomi politik dalam industri komunikasi yang ditawarkan Moscow, yaitu:
  1. Commodification (komodifikasi). Konsep ini mengacu pada pemanfaatan barang dan jasa yang dilihat dari kegunaannya kemudian ditransformasikan menjadi komoditi yang bernilai jual pasar. Bentuk komodifikasi dalam komunikasi ada tiga macam: intrinsinc commodification (komodifikasi intrinsik), extrinsinc commodification (komodifikasi ekstrinsik), dan cybernatic commodification (komodifikasi sibernatik).
  2. Spatialization (spasialisasi) adalah proses untuk mengatasi hambatan ruang dan waktu dalm kehidupan sosial oleh perusahaan media dalam bentuk perluasan usaha seperti proses intregasi. Ada integrasi horizontal, vertikal, dan internasionalisasi.
  3. Structuration (strukturasi), yakni proses penggabungan human agency (agensi manusia) dengan proses perubahan sosial ke dalam analisis struktur. Karakteristik penting dari teori strukturisasi ialah kekuatan yang diberikan pada perubahan sosial, yang menggambarkan bagaimana struktur diproduksi dan direproduksi oleh agen manusia yang bertindak melalui medium struktur-struktur.
Pendekatan politik ekonomi media berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media. Faktor seperti pemilik media, modal, dan pendapatan media dianggap lebih menentukan bagaimana wujud isi media. Faktor-faktor inilah yang menentukan peristiwa apa saja yang bisa atau tidak bisa ditampilkan dalam pemberitaan, serta ke arah mana kecenderungan pemberitaan sebuah media hendak diarahkan (Sudibyo, 2001:2).
Dalam pendekatan politik ekonomi media, kepemilikan media (media ownership) mempunyai arti penting untuk melihat peran, ideologi, konten media dan efek yang ditimbulkan media kepada masyarakat.
Dennis McQuail (1987), terdapat lima jenis utama dari terori media kritis yang salah satunya adalah teori ekonomi-politik media (political economy media theory). Dalam ekonomi politik komunikasi, sumber daya ini dapat berupa surat kabar, majalah, buku, kaset, film, internet dan sebagainya.
Teori ekonomi media merupakan sebuah pendekatan yang memusatkan perhatian lebih banyak pada struktur ekonomi daripada muatan atau ideologi media. Teori ini fokus ideologi medianya pada kekuatan ekonomi dan mengarahkan perhatian penelitian pada analisis empiris terhadap struktur pemilikan dan mekanisme kerja kekuatan pasar media. Menurut tinjauan ini, institusi media harus dinilai sebagai bagian dari sistem ekonomi yang juga bertalian erat dengan sistem politik.
Dalam teori Marxisme Klasik, bahwa kepemilikan media pada segelintir elit penguasa telah menyebabkan patologi atau penyakit sosial. Dalam pemikiran ini, kandungan media adalah komoditas yang dijual di pasar dan iformasi yang disebarluaskan dikendalikan oleh apa yang pasar akan tanggung. Sistem ini membawa implikasi mekanisme pasar yang tidak ambil resiko, suatu bentuk mekanisme pasar yang kejam karena membuat media tertentu mendominasi wacana publik dan lainnya terpinggirkan.
Pengusaha Media Menjadi Politisi
Di zaman Orde Reformasi, media massa menjadi sangat liberal (bebas), bahkan berubah menjadi kekuatan yang ampuh dalam mengontrol pusat-pusat kekuasaan. Dan kecenderungan yang terjadi selama ini, malahan para praktisi media massa termasuk para konglomerat media massa di Tanah Air berambisi besar menjadi penguasa politik. Entah dengan bergabung atau mendirikan organisasi politik atau dengan mendeklarasikan keikutsertaannya dalam pesta demokrasi 5 tahunan bernama Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan Pemilu Kepala Daerah.
Sangat wajarlah para konglomerat media massa berlomba-lomba dalam memberikan dukungan politik maupun finansial kepada para kandidat pemimpin, entah mereka yang memperebutkan jabatan eksekutif maupun legislatif. Dengan harapan adanya pergantian atau pemertahanan pucuk-pucuk pimpinan di berbagai institusi pemerintahan, secara tidak langsung memberikan keuntungan bisnis pada keberlangsungan eksistensi media massa yang dimiliki. Kompetisi bisnis antara para konglomerat media massa, akhirnya tidak murni bersinggungan dengan masalah perebutan pangsa pasar yang terbuka bebas (likuid). Melainkan sudah memasuki wilayah pengaruh politik, di mana masing-masing konglomerat media merasa memiliki kepentingan politik untuk melipatgandakan keuntungan bisnis perusahaan media, sekaligus kalau bisa menancapkan pengaruhnya pada pusat-pusat kekuasaan. Sebab pusat-pusat kekuasaan itu sangat efektif dalam memengaruhi pasar atau masyarakat.
Dari analisis politik, Pemilu dan Pilkada merupakan agenda 5 tahunan yang menjadi ajang pertarungan politik paling nyata antara para politisi, pemilik modal (pebisnis), akademisi, peneliti dan massa. Para pemilik media massa sah-sah saja memiliki kepentingan besar dalam berbagai momentum politik berupa pesta demokrasi. Sebab hajatan politik berupa Pemilu dan Pilkada, akan mengubah tatanan politik dalam skala nasional dan lokal. Implikasinya sangat luas, pergantian kepemimpinan nasional maupun lokal berpengaruh besar pada berbagai kebijakan politik, ekonomi, sosial, budaya bahkan hingga pertahanan dan keamanan.
Namun, terjunnya para konglomerat media massa dalam dunia politik, sudah menjadi bias dalam pemberitaan. Karena dengan keterlibatan para pengusaha media massa, misalkan Surya Paloh yang memiliki Media Group (Metro TV, Media Indonesia, Lampung Post dll.) melalui Partai Nasional Demokratnya, serta Abu Rizal Bakrie yang memiliki Viva Group jelas berpengaruh besar pada kemurnian media massa dalam mencerdaskan publik.
Sebagai gambaran pada masa kampenya Pemilu 2014 sampai sekarang, ada dua media berita televisi yang berbeda sudut pandang sesuai haluan politiknya, yaitu Metro TV dan TV One. Dua stasiun TV ini meskipun menyajikan kasus yang sama, tetapi akan melihat pada dua sudut pandang yang berbeda.
Media Group akan memiliki “sikap ganda” dalam memberitakan berbagai hal yang berkaitan dengan Surya Paloh dan Partai Nasional Demokrat serta berita-berita yang dinilai sebagai kontrapolitiknya serta ambiguitas dalam menentukan sikap ketika mengkritisi pemerintah. Begitu pun dengan Viva Grup, berita-berita yang dipaparkannya bisa berbeda kontrapolitik dalam pemberitaan Aburizal Bakrie.
Berbagai kebijakan redaksional yang digulirkan oleh perusahaan-perusahaan media massa sangat terdekte oleh berbagai kepentingan ekonomi (bisnis) dan kepentingan politik (kekuasaan) dan menihilkan pengaruh idealisme dalam mendirikan media massa. Hal ini menyebabkan adanya fenomena persekongkolan (konspirasi) antara para politikus dan pengusaha media massa. Sebab para politikus memiliki kepentingan untuk mempublikasikan berbagai pemikiran dan gagasannya agar diketahui publik, sedangkan media massa membutuhkan sumber-sumber berita yang mampu menarik minat dari kalangan pembaca, pendengar dan pemirsa.
Dengan terjunnya para pengusaha media massa (konglomerat media), teori politik ekonomi media massa tersebut seolah lebur dalam satu pihak. Kini, para pengusaha media massa itu sekaligus yang menjadi politisinya. Artinya, mereka akan menggunakan perusahaan media massa yang dimiliki sebagai alat propaganda. Yakni menyosialisasikan berbagai manuver-manuver politik maupun non politik yang dimiliki oleh pengusaha media massa yang telah berprofesi ganda menjadi politisi tersebut, untuk merealisasikan keinginan atau cita-cita (ambisi) politik para pemilik media massa atas kekuasaan legislatif dan eksekutif.
Dalam perjalanan selanjutnya, politik hegemoni dan hegemoni politik akan mendera kehidupan bangsa. Ketika negeri ini dikuasai oleh para politikus yang notabene-nya para pemilik atau konglomerat media massa. Probabilitas lainnya, terjadi perseteruan atau pertarungan nyata antara berbagai perusahaan media massa di Indonesia yang dikuasai oleh para politisi, sebagai akibat dari politik hegemoni. Seorang politisi ingin menebarkan pengaruh kuat kepada seluruh penduduk, agar mudah memenangkan berbagai kompetisi politik melalui Pemilu dan atau Pilkada. Dalam bahasa bisnis perniagaan, politik hegemoni sama artinya dengan politik monopoli, yang mana hanya ada satu pemain tunggal saja yang menguasai seluruh sendi kehidupan.
Tidak terelakkan lagi, media massa menjadi institusi bisnis (berfungsi untuk mengeruk keuntungan), institusi politik (bermaksud untuk menyebarkan berbagai ideologi dan pengaruh) sekaligus menjalankan fungsi keberpihakan pada publik (pembebasan publik atas ketertutupan informasi dan berusaha mencerdaskannya). Tiga fungsi yang dimainkan media massa tersebut, berimplikasi besar pada politisasi media massa di Tanah Air. Kendati pun hal tersebut tidak bisa terbaca secara terang-terangan (vulgar), tetapi lebih bersifat tersamarkan.
Para politisi dan pejabat negara memiliki kepentingan dengan media massa, dan memanfaatkan keberadaannya untuk kepentingan mereka. Teori ekonomi politik media massa yang dimiliki oleh Vincent Mosco, bisa menjelaskan mengenai relasi antara kepentingan bisnis dan kepentingan politik para pemilik media massa, praktisi media massa dan penguasa negara.
Maka, semakin maraknya para pemilik media massa (konglomerat media) yang terjun menjadi politisi, entah dengan mendirikan partai politik baru maupun bergabung dengan partai politik lama merupakan strategi ekonomi-politik yang kini menjadi tren dalam industri media. Para pemilik media massa itu memiliki kepentingan untuk mengincar berbagai posisi dalam kursi kekuasaan eksekutif, misalkan dengan menjadi presiden, wakil presiden maupun menteri.
Referensi:
  1. (Vincent Moscow. 1998. The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal. University of Winconsin Press).
  2. (Dennis McQuail. 1987. Teori Komunikasi Massa, terj Agus Dharma dan Aminuddin Ram. Jakarta: Erlangga).






0 Comments:

Posting Komentar