Selasa, 03 Mei 2016

Belajar dari Tulisan Asma Nadia tentang Nasihat Bijak

Kemarin, saya melihat tautan tulisan Asma Nadia yang berjudul, "Nasihat Bijak yang Menyesatkan," di Republika (21 Maret 2014) pada salah satu dinding facebook teman yang mempertanyakan dari tulisan tersebut. Hari ini, saya juga melihat tautan tersebut pada dinding facebook teman yang lain, dengan tanggapan bahwa tulisan tersebut simple atau sederhana dan bermanfaat. Dua sudut pandang yang berbeda akan penilaian tulisan tersebut.


Saya tidak akan membahas dua sudut pandang yang berbeda atas tulisan tersebut, karena hal ini wajar dalam menanggapi suatu tulisan, ada yang setuju dan tidak. Saya sendiri tertarik dengan tulisan Asma Nadia tersebut. Sebuah tulisan yang mengkritik nasihat bijak para orang tua yang selama ini sering kita dengar, tetapi Asma Nadia menganggap bahwa itu menyesatkan. Tadinya saya akan menulis di komentar FB, tetapi saya memilih menuliskannya di sini.

Di awal tulisan, pada paragraf kedua, Asma Nadia sudah memaparkan bahwa nasihat yang disampaikan oleh para orang tua atas dasar yang mereka percaya, dan menyayangkan banyak nasihat yang berisi petuah benar bisa menyesatkan jika diterapkan secara buta.

Dari paragraf ini, penulis menjabarkan bahwa nasihat tersebut merupakan kepercayaan yang bisa menyesatkan bila diterapkan secara buta. Saya tergelitik pada paragraf ini, karena bila memang nasihat itu baik, kenapa malah menyesatkan nasihat tersebut, bukan memberi pemahaman bahwa sebagai orang tua untuk membimbing anaknya agar turut mempercayai nasihat-nasihat tersebut, sehingga tidak percaya buta? Bila nasihat baik itu menyesatkan, lalu bagaimana dengan Al-Qur'an yang memaparkan tentang kebajikan? Di sini ada uraian yang terpenggal akan peran orang tua sendiri dalam membimbing anaknya.

Selanjutnya, memasuki nasihat-nasihat yang mendapat kritik dan dianggap menyesatkan oleh Asma Nadia, di antaranya kalimat, "Yang penting kaya jiwa daripada kaya harta" atau "Tidak perlu kaya yang penting bahagia," "Rezeki tidak kemana" atau "Memang Belum Rezeki," "Kalau jodoh nggak kemana" atau "Memang bukan jodoh," dan "Tuhan saja memaafkan."

Kalimat awal dianggap mematikan kreativitas anak manusia untuk sukses dan berdaya. Ini yang kurang saya setuju, kenapa nasihat tersebut menjadi biang mematikan kreativitas anak muda? Meskipun penulis berpendapat bahwa seseorang bisa kaya harta dan kaya jiwa secara bersamaan, dan orang kaya juga bisa bahagia, tetapi ada titik yang mengecilkan pentingnya jiwa dan memberi peranan besar akan harta. Lalu, terbersit pertanyaan, apakah sebenarnya bahagia itu? Di mana letaknya bahagia? Apakah di harta atau jiwa?
  
Penulis juga memberi gambaran akan orang kaya bahagia dengan memaparkan Abu Bakar atau Abdurahman bin Auf yang berdakwah dengan menggunakan harta mereka. Bahkan, penulis menggambarkan Rasulullah yang zuhud dan tidak kaya, beliau memiliki akses keuangan yang luar biasa. Akses ekonomi yang memungkinkan Nabi SAW memerintah negara dan membiayai perang. Sang Nabi mungkin zuhud, tapi di saat bersamaan beliau mempunyai kekuasaan ekonomi.

Abu Bakar dan Abdurrahman bin Auf memang sahabat yang kaya dan pendukung dakwah Rasulullah saw, tetapi ada yang terlewat dari tulisan penulis, bahwa mereka itu sudah memiliki bekal keimanan dan dekat dengan Rasulullah yang membimbing mereka pada akhlak yang mulia. Begitu pula dengan Rasulullah, dia seorang pemimpin yang memang mempunyai akses dalam perekonomian umat. Tetapi, apakah dengan itu beliau menumpuk kekayaan? Saya teringat dengan hadis Aisyah yang memaparkan bahwa Rasulullah bertanya akan makanan hari itu pada istrinya, dan ketika dijawab tidak ada makanan, Rasulullah melanjutkannya dengan puasa. Hadis lainnya menyebutkan bahwa Umar bin Khathab pernah menangis ketika berkunjung ke rumah Rasul yang tidak beralas permadani, malah di punggung beliau terlihat guratan-guratan tikar sebagai alas tidurnya. Ada yang terpenggal dari contoh gambaran yang penulis sebutkan.
Lalu, apakah bekal keimanan itu sudah ada dalam generasi muda sekarang, seperti imannya Abu Bakar dan Abdurrahman bin Auf? Apa motivasi mereka untuk berdagang? Apakah hanya sekedar mencari harta atau harta hanya sebagai jalan dalam mengamalkan keimanan kepada Allah?

Sebenarnya, untuk kalimat kedua tentang rezeki, banyak hadis yang memaparkan pentingnya bekerja dan larangan meminta-minta. Bahkan, dalam sebuah hadis disebutkan bahwa kategori miskin itu orang yang tidak mempunyai harta dan menyembunyikan ketidakpunyaannya. Berbeda dengan peminta-minta, Rasulullah sendiri menggambarkan orang tersebut akan bermuka hitam. Lalu, mental kuat itu untuk terus bergerak itu karena harta atau karena Allah? Pada masa Rasulullah juga ada yang bermental peminta-minta, dan ada juga yang bermental wirausaha seperti Abdurrahman bin Auf dan Ustman bin Affan.  Maka, bukankah di sini letaknya bekal kekuatan jiwa untuk terus bergerak dan bangkit?

Kalimat kedua dan ketiga paparan penulis membahas tentang takdir. Pada dasarnya, penulis memaparkan untuk introspeksi diri. Namun sayang, kalimat yang digunakan seakan hanya menerima takdir Allah yang baik saja menurut kita, seperti pada kalimat, "Allah menentukan jodoh yang tepat buat mukmin, tapi kita yang memilih. Jika salah pilih itu bukan salah Allah, jika pilihannya tepat, kita wajib mensyukurinya. Berlanjut pada paragraf berikutnya, banyak orang yang meninggal di usia tua dalam keadaan lajang. Apakah Allah tidak memberikan jodoh untuk mereka? Tentu saja bukan salah Allah."

Kalimat-kalimat tersebut, bagi saya melihatnya sebagai kesombongan manusia. Ada keegoisan dan keakuan. Saya ingat nasihat orang tua, kalau memulai sesuatu, awalilah dengan kalimat, "Bismillahirrahmanirrahim," yang artinya dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dalam tindak dan tingkah laku ada keyakinan karena Allah. Adapun ketika pada selanjutnya bila dalam bekerja atau jodoh, ada kegagalan, maka memang seperti itulah takdirnya. Bukankah seorang muslim, dalam setiap tindakannya harus berdasarkan karena Allah? Bukankah baik dan buruk itu hanya sebuah persepsi? Baik menurut kita, belum tentu menurut orang lain. Begitu pula sebaliknya. 

Alasan kalimat terakhir malah membuat saya tertegun dan tidak bisa komentar apa-apa. Memaafkan dijawantahkan sebagai sanksi dan imbalan, surga dan neraka. Tentu saja, ketika seseorang bertindak kriminal, harus ada hukuman atas apa yang dilakukannya. Tetapi, apakah kita mesti tidak memaafkannya? Bukankah itu nantinya mengarah pada dendam? Siapa yang menderita? Tentu yang memiliki dendam.

Guru saya pernah berujar, kalau seorang muslim itu adalah orang yang menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah. Segala tindakannya berdasarkan karena Allah. Baik dan buruk merupakan persepsi, bahagia dan menderita merupakan rasa yang tidak bisa kita hindari, karena pada dasarnya rasa tersebut adalah pemberian Allah. Sadari semua rasa. Orang yang beriman, dia tidak takut dengan kehilangan rezeki atau jodoh, karena raga sendiri bukan milik kita, sehingga tidak ada yang mesti ditakutkan.

Ketika berbicara surga dan neraka, saya teringat hadis, bahwa Allah akan mengeluarkan orang yang di dalam neraka sekehendak-Nya. Kalau ingat hadis tersebut, maka saya pun ingat kalimat, "La haula wala quwwata ilabillah dan Innalillahi wa inna ilaihi rajiun."

Dengan demikian, pada dasarnya tulisan Asma Nadia di atas merupakan penjabaran tentang introspeksi diri, namun sayang sepertinya malah menyalahkan nasihat itu sendiri. Dari tulisan ini, ada beberapa hal yang mesti kita renungkan bersama akan hakikat akan keberadaan diri itu sendiri, apalagi sebagai muslim yang mendasarkan segala sesuatunya karena Allah. Apa tujuan hidup ini? Dan apa sebenarnya motivasi dari perbuatan kita? Tulisan ini memberi saya pembelajaran untuk terus melanjutkan latihan sadar, dan sadar. Kesadaran mengingat Allah. Terima kasih. Wallahu'alam bishshawab


  

0 Comments:

Posting Komentar