Kemarin, saya melihat tautan tulisan Asma Nadia yang berjudul,
"Nasihat Bijak yang Menyesatkan," di Republika (21 Maret 2014) pada
salah satu dinding facebook teman yang mempertanyakan dari tulisan
tersebut. Hari ini, saya juga melihat tautan tersebut pada dinding
facebook teman yang lain, dengan tanggapan bahwa tulisan tersebut simple
atau sederhana dan bermanfaat. Dua sudut pandang yang berbeda akan
penilaian tulisan tersebut.
Saya tidak akan membahas dua
sudut pandang yang berbeda atas tulisan tersebut, karena hal ini wajar
dalam menanggapi suatu tulisan, ada yang setuju dan tidak. Saya sendiri
tertarik dengan tulisan Asma Nadia tersebut. Sebuah tulisan yang
mengkritik nasihat bijak para orang tua yang selama ini sering kita
dengar, tetapi Asma Nadia menganggap bahwa itu menyesatkan. Tadinya saya
akan menulis di komentar FB, tetapi saya memilih menuliskannya di sini.
Di
awal tulisan, pada paragraf kedua, Asma Nadia sudah memaparkan bahwa
nasihat yang disampaikan oleh para orang tua atas dasar yang mereka
percaya, dan menyayangkan banyak nasihat yang berisi petuah benar bisa
menyesatkan jika diterapkan secara buta.
Dari paragraf ini,
penulis menjabarkan bahwa nasihat tersebut merupakan kepercayaan yang
bisa menyesatkan bila diterapkan secara buta. Saya tergelitik pada
paragraf ini, karena bila memang nasihat itu baik, kenapa malah
menyesatkan nasihat tersebut, bukan memberi pemahaman bahwa sebagai
orang tua untuk membimbing anaknya agar turut mempercayai
nasihat-nasihat tersebut, sehingga tidak percaya buta? Bila nasihat baik
itu menyesatkan, lalu bagaimana dengan Al-Qur'an yang memaparkan
tentang kebajikan? Di sini ada uraian yang terpenggal akan peran orang
tua sendiri dalam membimbing anaknya.
Selanjutnya, memasuki
nasihat-nasihat yang mendapat kritik dan dianggap menyesatkan oleh Asma
Nadia, di antaranya kalimat, "Yang penting kaya jiwa daripada kaya
harta" atau "Tidak perlu kaya yang penting bahagia," "Rezeki tidak
kemana" atau "Memang Belum Rezeki," "Kalau jodoh nggak kemana" atau
"Memang bukan jodoh," dan "Tuhan saja memaafkan."
Kalimat awal
dianggap mematikan kreativitas anak manusia untuk sukses dan berdaya.
Ini yang kurang saya setuju, kenapa nasihat tersebut menjadi biang
mematikan kreativitas anak muda? Meskipun penulis berpendapat bahwa
seseorang bisa kaya harta dan kaya jiwa secara bersamaan, dan orang kaya
juga bisa bahagia, tetapi ada titik yang mengecilkan pentingnya jiwa
dan memberi peranan besar akan harta. Lalu, terbersit pertanyaan, apakah
sebenarnya bahagia itu? Di mana letaknya bahagia? Apakah di harta atau
jiwa?
Penulis juga memberi gambaran akan orang kaya bahagia
dengan memaparkan Abu Bakar atau Abdurahman bin Auf yang berdakwah
dengan menggunakan harta mereka. Bahkan, penulis menggambarkan
Rasulullah yang zuhud dan tidak kaya, beliau memiliki akses keuangan
yang luar biasa. Akses ekonomi yang memungkinkan Nabi SAW memerintah
negara dan membiayai perang. Sang Nabi mungkin zuhud, tapi di saat bersamaan beliau mempunyai kekuasaan ekonomi.
Abu
Bakar dan Abdurrahman bin Auf memang sahabat yang kaya dan pendukung
dakwah Rasulullah saw, tetapi ada yang terlewat dari tulisan penulis,
bahwa mereka itu sudah memiliki bekal keimanan dan dekat dengan
Rasulullah yang membimbing mereka pada akhlak yang mulia. Begitu pula
dengan Rasulullah, dia seorang pemimpin yang memang mempunyai akses
dalam perekonomian umat. Tetapi, apakah dengan itu beliau menumpuk
kekayaan? Saya teringat dengan hadis Aisyah yang memaparkan bahwa
Rasulullah bertanya akan makanan hari itu pada istrinya, dan ketika
dijawab tidak ada makanan, Rasulullah melanjutkannya dengan puasa. Hadis
lainnya menyebutkan bahwa Umar bin Khathab pernah menangis ketika
berkunjung ke rumah Rasul yang tidak beralas permadani, malah di
punggung beliau terlihat guratan-guratan tikar sebagai alas tidurnya.
Ada yang terpenggal dari contoh gambaran yang penulis sebutkan.
Lalu,
apakah bekal keimanan itu sudah ada dalam generasi muda sekarang,
seperti imannya Abu Bakar dan Abdurrahman bin Auf? Apa motivasi mereka
untuk berdagang? Apakah hanya sekedar mencari harta atau harta hanya
sebagai jalan dalam mengamalkan keimanan kepada Allah?
Sebenarnya,
untuk kalimat kedua tentang rezeki, banyak hadis yang memaparkan
pentingnya bekerja dan larangan meminta-minta. Bahkan, dalam sebuah
hadis disebutkan bahwa kategori miskin itu orang yang tidak mempunyai
harta dan menyembunyikan ketidakpunyaannya. Berbeda dengan
peminta-minta, Rasulullah sendiri menggambarkan orang tersebut akan
bermuka hitam. Lalu, mental kuat itu untuk terus bergerak itu karena
harta atau karena Allah? Pada masa Rasulullah juga ada yang bermental
peminta-minta, dan ada juga yang bermental wirausaha seperti Abdurrahman
bin Auf dan Ustman bin Affan. Maka, bukankah di sini letaknya bekal
kekuatan jiwa untuk terus bergerak dan bangkit?
Kalimat kedua dan
ketiga paparan penulis membahas tentang takdir. Pada dasarnya, penulis
memaparkan untuk introspeksi diri. Namun sayang, kalimat yang digunakan
seakan hanya menerima takdir Allah yang baik saja menurut kita, seperti
pada kalimat, "Allah menentukan jodoh yang tepat buat mukmin, tapi kita
yang memilih. Jika salah pilih itu bukan salah Allah, jika pilihannya
tepat, kita wajib mensyukurinya. Berlanjut pada paragraf berikutnya,
banyak orang yang meninggal di usia tua dalam keadaan lajang. Apakah
Allah tidak memberikan jodoh untuk mereka? Tentu saja bukan salah
Allah."
Kalimat-kalimat tersebut, bagi saya melihatnya sebagai
kesombongan manusia. Ada keegoisan dan keakuan. Saya ingat nasihat orang
tua, kalau memulai sesuatu, awalilah dengan kalimat, "Bismillahirrahmanirrahim,"
yang artinya dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan
Penyayang. Dalam tindak dan tingkah laku ada keyakinan karena Allah.
Adapun ketika pada selanjutnya bila dalam bekerja atau jodoh, ada
kegagalan, maka memang seperti itulah takdirnya. Bukankah seorang
muslim, dalam setiap tindakannya harus berdasarkan karena Allah?
Bukankah baik dan buruk itu hanya sebuah persepsi? Baik menurut kita,
belum tentu menurut orang lain. Begitu pula sebaliknya.
Alasan
kalimat terakhir malah membuat saya tertegun dan tidak bisa komentar
apa-apa. Memaafkan dijawantahkan sebagai sanksi dan imbalan, surga dan
neraka. Tentu saja, ketika seseorang bertindak kriminal, harus ada
hukuman atas apa yang dilakukannya. Tetapi, apakah kita mesti tidak
memaafkannya? Bukankah itu nantinya mengarah pada dendam? Siapa yang
menderita? Tentu yang memiliki dendam.
Guru saya pernah berujar,
kalau seorang muslim itu adalah orang yang menyerahkan segala sesuatunya
kepada Allah. Segala tindakannya berdasarkan karena Allah. Baik dan
buruk merupakan persepsi, bahagia dan menderita merupakan rasa yang
tidak bisa kita hindari, karena pada dasarnya rasa tersebut adalah
pemberian Allah. Sadari semua rasa. Orang yang beriman, dia tidak takut
dengan kehilangan rezeki atau jodoh, karena raga sendiri bukan milik
kita, sehingga tidak ada yang mesti ditakutkan.
Ketika berbicara
surga dan neraka, saya teringat hadis, bahwa Allah akan mengeluarkan
orang yang di dalam neraka sekehendak-Nya. Kalau ingat hadis tersebut,
maka saya pun ingat kalimat, "La haula wala quwwata ilabillah dan
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun."
Dengan demikian, pada
dasarnya tulisan Asma Nadia di atas merupakan penjabaran tentang
introspeksi diri, namun sayang sepertinya malah menyalahkan nasihat itu
sendiri. Dari tulisan ini, ada beberapa hal yang mesti kita renungkan
bersama akan hakikat akan keberadaan diri itu sendiri, apalagi sebagai
muslim yang mendasarkan segala sesuatunya karena Allah. Apa tujuan hidup
ini? Dan apa sebenarnya motivasi dari perbuatan kita? Tulisan ini
memberi saya pembelajaran untuk terus melanjutkan latihan sadar, dan
sadar. Kesadaran mengingat Allah. Terima kasih. Wallahu'alam bishshawab.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Popular Posts
-
Ekstasi berasal dari kata Ex-Stosis yang berarti terbebaskan atau suatu keadaan yang menyenangkan. Pil yang digunakan sebagai perangsang ...
-
Seminyak, kota yang menjadi salah satu destinasi wisata Bali. Daerah yang berada di selatan Bali ini menyimpan potensi alam yang indah. Tak ...
-
Langit cerah di senja menjelang berbuka puasa. Ahad, 12 Juni 2016, saya berkesempatan ikut Buka Bersama, Bukber bersama CNI. Buka puasa bers...
Featured Post
Blog Archive
-
▼
2016
(24)
-
▼
Mei
(9)
- Ketika Seorang Ibu Menjadi Pecandu Ganja
- Waspada Jerat Narkoba di Media Sosial
- Jangan Takut Melapor
- Peran Keluarga dalam Pencegahan Penyalahgunaan Nar...
- Kenali Jerat Sabu-sabu
- Waspada Jerat Narkoba di Media Sosial
- [Celoteh] Kursi Kereta
- Waspada Peredaran Narkoba di Kampus
- Belajar dari Tulisan Asma Nadia tentang Nasihat Bijak
-
▼
Mei
(9)
Total Tayangan Halaman
Blog Archive
-
▼
2016
(24)
-
▼
Mei
(9)
- Ketika Seorang Ibu Menjadi Pecandu Ganja
- Waspada Jerat Narkoba di Media Sosial
- Jangan Takut Melapor
- Peran Keluarga dalam Pencegahan Penyalahgunaan Nar...
- Kenali Jerat Sabu-sabu
- Waspada Jerat Narkoba di Media Sosial
- [Celoteh] Kursi Kereta
- Waspada Peredaran Narkoba di Kampus
- Belajar dari Tulisan Asma Nadia tentang Nasihat Bijak
-
▼
Mei
(9)
Cari Blog Ini
Diberdayakan oleh Blogger.
Mengenai Saya
Contact Us
Motekar
Motekar sebagai kreatifitas di dunia digital tentang kehidupan sehari-hari perempuan yang motekar dari mulai ekonomi, politik, gaya hidup, kesehatan, pendidikan, lingkungan dan imaginasi.
0 Comments:
Posting Komentar